Sebagai bentuk ekspresi, tari sebenarnya sudah ada sejak lama, menyatu dalam keseharian hidup masyarakat nusantara. Menurut catatan sejarah, tarian nusantara sudah ada sejak abad ke-6 Masehi, ketika kehidupan masyarakat nusantara masih primitif. Tarian nusantara kemudian berkembang karena masuknya agama Hindu, Buddha, dan Islam.
Di Jawa, perkembangan tari berpusat di keraton. Tari-tari Jawa klasik tercipta untuk keperluan upacara atau ritual tertentu. Tari Bedhoyo Ketawang misalnya, hanya digelar saat pelantikan raja atau jumenengan. Bedhoyo Ketawang diciptakan saat kerajaan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung. Konon tari Bedhoyo Ketawang merupakan kreasi Sultan Agung bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa Laut Selatan yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Kidul.
Bedhoyo Ketawang masih digelar sampai sekarang, namun memunyai makna yang berbeda. Meski bentuk dan tata cara pelaksanaannya sama, tetapi tidak lagi merupakan ritual agung yang sakral seperti zaman dahulu. Tari Bedhoyo ketawang digelar sebagai upaya untuk melestarikan budaya nusantara.
Tarian nusantara juga ada yang tercipta karena motif politik. Salah satunya adalah tari Srimpi Sangopati karya Pakubuwono IX. Semasa memerintah, Pakubuwono IX terkenal keras terhadap kekuasaan Belanda. Dalam segala hal, tidak sedikit pun ia mau berkompromi dengan Belanda. Karena itu, menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia,
Pakubowono menciptakan Srimpi Sangopati sebagai ejekan. Sangopati berarti bekal kematian, memunyai makna sajian untuk mengiringi kematian Belanda.
0 komentar:
Posting Komentar